Artikel : Apa itu Wakaf Uang ??

Muhammad Dwiki Reza ( Mahasiswa STEI SEBI, Depok )

A. Pengertian Wakaf Uang

Dalam Fatwa DSN-MUI No.2 Tahun 2002 tentang Wakaf Uang menyatakan bahwa wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf Al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga, atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Wakaf uang juga termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.

Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang juga menambahkan pada Pasal 1 yang menyatakan bahwa wakaf uang adalah wakaf berupa uang yang dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf ‘alaih. Selain itu, para ahli dalam PSAK No. 112 mensyaratkan bahwa nilai wakaf tidak boleh berubah. Perubahan atas kualitas aset wakaf berbanding lurus dengan perubahan nilai aset wakaf yang artinya apabila kualitas aset wakaf berubah atau berkurang maka dapat menyebabkan berkurangnya manfaat atas aset wakaf tersebut bahkan keabadian atas aset wakaf tersebut bisa hilang.

B. Dasar Hukum Wakaf Uang

  1. Firman Allah SWT:
    لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ، وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (آل عمران : 92)
    “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran [3]: 92).

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةَ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتَّبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنَّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
(262)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia- Nya) lagi Maha Mengetahui.” “Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. al-Baqarah [2]: 261-262).

  1. Hadits Nabi SAW.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ رواه مسلم 3084؛ والترمذي في الأحكام عن رسول الله، في الوقف 1297 والنسائي، 3591؛ وأبو داود، .(2494

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullahs.a.w.bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu kecuali dari sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud).

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أَصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا، قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلِ. قَالَ: فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ سِيرِينَ، فَقَالَ: غَيْرَ مُتَأَثْلِ مَالاً (رواه البخاري في الشروط في الوقف: 2532؛ ومسلم الوصايا الوقف 3085؛ والترمذي، في الأحكام عن رسول الله، في الوقف 1296؛ و النسائي، في الأحباس:
(3541

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar bin al-Khaththab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabis.a.w.untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)- nya.”
Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.”
Rawi berkata, “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata ‘ghaira muta’tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)’.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ عُمَرُ لِلنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمِائَةَ سَهْمِ الَّتِي لِي بِخَيْبَرَ لَمْ أَصِبْ مَالاً قَطَ أَعْجَبَ إِلَيَّ مِنْهَا، قَدْ أَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: احْبِسُ أَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمَرَتَهَا (رواه النسائي
كتاب في الأحباس، باب حبس المشاع: 3546)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; ia berkata, Umar r.a. berkata kepada Nabi s.a.w., “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi s.a.w. berkata, “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (H.R. al-Nasa’i).

Jabir RA berkata:

مَا بَقِي أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُول الله صلى الله عليه وآله وسلم لَهُ مَقْدِرَةٌ إِلَّا وَقَفَ وَقْفًا (الخطيب الشربيني:
)157/8( :376/2؛ وهبة الزحيلي

“Tak ada seorang sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf.” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa a Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 157; al-Khathib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, H. 376)

Demikian di antara beberapa nash al Qur’an dan hadits yang dapat dijadikan landasan utama disyari’atkannya wakaf dalam Islam. Hanya saja, jika kita cermati dari nash-nash hadits yang menjadi sumber hukum wakaf, maka tampak sedikit sekali jika dibandingkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan berdasarkan ijtihad fuqaha yang didasarkan pada pertimbangan istihsan, maslahah dan urf. Pandangan yang serupa juga diungkapkan oleh Wahbah al Zuhaili dalam bukunya al-Fiqh al Islamy Wa Adilatuhu.
Karenanya, wakaf merupakan salah satu konsep fiqih ijtihadi. Artinya ia, sebagai hasil ijtihad yang lahir dari pemahaman ulama terhadap nash-nash yang menjelaskan tentang pembelanjaan harta. Konsep tersebut muncul sebagai respon dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar tentang pertanyaan Umar bin Khattab mengenai pemanfaatan tanahnya di Khaibar. Permasalahan tentang wakaf memang tidak dijelaskan secara tegas didalam al-Qur’an. Kendati demikian para mujtahid, sebagai para pemuka umat Islam, berupaya mengembangkan lebih lanjut mengenai masalah tersebut dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an serta diikuti oleh beberapa hadits yang mendukung.
C. Rukun dan Syarat Wakaf Uang

Adapun rukun wakaf yang harus dipenuhi dalam wakaf uang, diantaranya. orang yang berwakaf (wakif), benda yang diwakafkan (mauquf), orang yang menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih), dan lafadz atau ikrar wakaf (sighah). Orang yang berwakaf (wakif) harus menjadi pemilik penuh atas barang yang diwakafkan, baligh, berakal, dan dibolehkan bertransaksi, sedangkan syarat untuk benda yang diwakafkan (mauquf) adalah barang yang bernilai, jelas kadarnya, sepenuhnya milik wakif, berdiri sendiri, dan dapat dimanfaatkan dalam waktu lama. Mauquf ‘alaih sebagai penerima manfaat wakaf disyaratkan untuk kebaikan, taqarrub ilaallah, atau untuk keluarga. Lafadz atau ikrar wakaf (sighah) disyaratkan harus dari kehendak wakif untuk mewakafkan bedan miliknya.